Saptarasa : Eksperimental, Mendayu tapi Bukan Melayu

Artikel: Graditio

HujanMusik!, Bogor – Geliat musik Bogor nampaknya tengah getol-getolnya menghasilkan karya karya ciamik. Nyaris rapat layaknya hujan sepanjang hari yang berpacu dengan jadwal realese party. Dari band-band berdistorsi, hingga musik  pop kekinian, kejar-mengejar untuk memperdengarkan karya mereka kepada khalayak musik Bogor. Salah satu yang membuat kejutan karena musiknya yang beda sekaligus mencuri perhatian adalah Saptarasa. Quintet asal Bogor ini berhasil memenuhi ruang telinga saya dengan nada mendayu yang tak biasa.

Semua berawal dari rasa penasaran ketika melihat nama mereka terpampang pada flyer realese single party milik Antartick, lalu jemari saya pun mulai melangkah liar di atas papan tuts selancar maya untuk menemukan keberadaan karya mereka. Lalu diarahkanlah saya pada kanal youtube milik kelompok yang berkandang di REF music studio, Bogor ini. Mata saya disajikan dengan beberapa  live session yang mereka pajang pada kanal tersebut.

Dahi pun sempat dibuat merengut. Telinga gelisah menerka genre apa yang sebenarnya mereka bawakan. Sejenak saya diajak berimajinasi di awang-awang oleh ramuan melodius musiknya, dan tanpa sengaja jempol saya pun turut bergoyang. Suguhan irama folk dan blues yang dihiasi melody bernuansa clasic rock, mendayu tapi bukan melayu. Aaaah aliran apa ini…!!?? Jujur, itulah yang terlintas di benak saya pada saat itu.

Saya pun semakin tertarik untuk mengulik mereka lebih jauh. Secara sadar saya menggiring keinginan dan mulai mendengarkan secara detail repertoar yang mereka sajikan di EP mereka yang bertajuk “Anti-Sceptist”. Formasi quintet yang diisi oleh Dewo Iskandar (vocal), Alexander Bramono (bass), Erick Tegar Setianto (gitar), Gemawan “Ajo” Geri (kendang), Ayu Novianti (keyborad), memang terlihat agak menyerupai ‘orkes’. Ditambah lagi dengan keberadaan instrument kendang yang menggantikan peran ketukan drum. Di situlah saya merasakan sentuhan orkes dangdut yang kuat mendominasi, terlebih jika kita mendengarkan track mereka dengan judul “Pathetic Fairytale”. Di situ barulah saya sadar, darah dangdut yang dibawa oleh om Jhony Iskandar sangat deras mengalir di tubuh Dewo Iskandar, sang vokalis sekaligus penggagas tercetusnya Saptarasa. Memang buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Tak kalah kuat, peranan betotan bass Alex pun serasi mengiringi alunan gitar yang dibawakan Erik, yang acap kali memainkan irama klasik dangdut 70an, seperti diajak kembali pada era keemasan dari group seperti Soneta dan penyanyi A. Rafiq. Secara keseluruhan Saptarasa berhasil memberikan unsur psychedelic dari sentuhan romantis sang pemain keyboard berparas manis Ayu.

Tidak sah rasanya jika saya selalu menerka. Saya pun menanyakan langsung pada sang vokalis yang ditemani oleh dua personil lainnya, Alex dan Erik. Dari mereka kemudian terbeber beberapa fakta yang menarik terkait Saptarasa. Saptarasa itu sendiri dapat dimaknai sebagai 7 perasaan dalam pikiran, 7 tangga nada, di mana mereka dapat menyajikan racikan yang yahud dari 7 tangga nada tersebut. Dan ternyata apa yang saya sangka tentang mereka pun diamini juga, bahwa quintet yang mereka gawangi membawakan genre yang mereka sebut “dangdut eksperimental”.

Kenapa eksperimental? Mereka menyematkan kata “eksperimental” karena mereka sangat suka bereksplorasi dengan musik mereka. Hal itu tercermin dari beragamnya unsur musik yang mereka coba sajikan, sebutlah dari dangdut, classic rock, hingga band macam Radiohead mereka sajikan dalam EP “Anti-Sceptist” milik mereka. Bahkan Dewo pun memaparkan salah satu ide awal tercetusnya konsep musik Saptarasa adalah di saat dia mendengarkan alunan lagu milik The Beatles yang berjudul “Within You Without You”, di mana unsur musik raga (musik dari India) sangat kental didengar, karakter musik yang menjadi akar dari musik dangdut itu sendiri. Itu pula yang membuat mereka “sah” menyebut dengan “dangdut eksperimental”.

Anti-Sceptist seperti rilisan aneh yang mereka sajikan dalam kemasan berbeda. Sajian utuh pertama bisa dinikmati dalam bentuk kaset yang dirilis Nastard record. Selanjutnya kemasan CD berhasil dirampungkan dalam naungan Paviliun Record. Nama label terakhir adalah Record Label yang juga menangani Efek Rumah Kaca, Glue dan Gabriel Mayo. Memang perilisan CD termasuk proses paling akhir, setelah sebelumnya materi “Anti-Sceptist” dapat kita dengar melalui gerai musik online seperti Spotify, Joox, iTunes dan sejenisnya, hasil penggarapan Amplop records. Kini EP mereka pun sudah bisa didapatkan melalui pemesanan dan record store di Bogor.

Sedikit ke belakang, tepatnya pada 30 April lalu, Saptarasa baru saja menyelenggarakan showcase “Anti-Sceptist” yang juga diramaikan oleh 90 Horse Power, Tanya Ditaputri, Life Cicla dan AreYouAlone?  di Paviliun 28, Jakarta. Kabarnya Dewo cs akan mengadakan acara serupa di Bogor kota dalam waktu dekat ini.

Baiklah…saya tak sabar untuk hadir dan menyaksikan aksi panggung langsung mereka. Kita tunggu saja tanggal pastinya. Mudah-mudahan usaha mereka mengemas musik dangdut dapat menampilkan wajah baru musik dangdut. Dangdut yang segar, eksperimental dan tetap punya akar. Kita doakan niat baik mereka dan menarik perhatian para penikmat musik di seluruh dunia, khususnya di Bogor, tempat di mana Saptarasa lahir.

Mungkin ini juga akan menjadi jembatan kami untuk membahas musik dangdut lebih dalam lagi.

Ikuti terus HujanMusik! ya, kawanhujan… See ya…

Leave a Reply